Senin, 24 Agustus 2009

Pengertian Haji Mabrur


Mabrur (bahasa Arab) yang berasal dari kata barra-yaburru-barran yang artinya taat berbakti. Dalam kamus Al Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap karangan Ahmad Warson Munawwir terbitan Pustaka Progressif Surabaya dijelaskan kata-kata albirru artinya ketaatan, kesalehan atau kebaikan. Sedangkan mabrur sendiri artinya haji yang diterima pahalanya oleh Allah SWT.Dalam kaitan ini, Nabi Muhammad SAW bersabda: alhajjul mabruru laisa lahul jazaa-u illal jannah yang artinya, “Haji yang mabrur tiada balasan kecuali surga.’’ (HR Bukhari dan Muslim).Ibadah haji dinilai mabrur, apabila memiliki beberapa kriteria berikut ini.
· Pertama, motivasi dan niat ibadah tersebut ikhlas semata-mata menghadap ridho Allah SAW.
· Kedua, proses pelaksanaannya sesuai dengan manasik yang telah dicontohkan Rasulullah SAW yakni syarat, rukun, wajib bahkan sunah ibadah tersebut terpenuhi.
· Ketiga, biaya baik untuk ibadah haji, biaya perjalanan maupun biaya untuk keperluan keluarga yang ditinggalkan diperoleh dengan cara yang halal.
· Keempat, dampak dari ibadah haji tersebut adalah positif bagi pelakunya, yaitu adanya perubahan kualitas perilaku ke arah yang lebih baik dan lebih terpuji.
Haji mabrur juga dicapai oleh orang yang melaksanakannya sesuai dengan syarat, wajib dan rukunnya dan saat melaksanakannya dia tidak melakukan kemaksiatan sepertirafats, fusuk dan jidal. Yang dimaksud dengan haji yang mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah SWT dan lawannya adalah haji mardud.Banyak ulama menyatakan, ciri-ciri dari haji mabrur yang paling utama adalah berubahnya perilaku menjadi lebih baik setelah berhaji. Meningkat semangat belajarnya, meningkat usahanya untuk keluarga juga meningkat semangat pengajiannya. Hubungan dengan keluarganya, membina anak-anaknya untuk beribadah semakin meningkatsetelah pulang dari ibadah haji.Menurut Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Prof Dr Said Agil Siradj, kemabruran akan dicapai di samping melaksanakan haji sesuai dengan aturan syariat yang memenuhi syarat dan rukunnya, dia juga mengerjakan ibadah haji dengan ikhlas. ”Semata-mata karena Allah SWT, dan bukan karena alasan yang lainnya,” ujarnya.Kiai asal Cirebon Jawa Barat ini menyebutkan, sepulang dari Tanah Suci ia akan mendapatkan ketenangan dan tuma’ninah hawa nafsunya. “Jadi, pola pikirnya tidak hanya melulu terdorong oleh nafsu angkara murka, egois, bergelimang kemewahan, dan kepuasan. Walaupun di dalam hati penuh memikirkan segala macam kehidupan dunia tapi ada ruang untuk zikir kepada Allah untuk mendapatkan tempat yang haq,’’ ujarnya.Selain itu, sambung Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, mereka yang meraih predikat haji mabrur juga senang membaca Alquran dan gemar shalat berjamaah. “Salah satu tanda kemabruran hajinya adalah dia melakukan apa yang telah dilakukan selama menunaikan haji.”Namun terlepas dari itu semua, kualitas haji mabrur itu terletak di hati. ”Kalau hatinya khusyuk, Allah selalu hadir di hatinya, itu ciri-ciri kemabruran haji. Paling tidak selalu sadar akan kehadiran Allah SWT.’’Pandangan serupa diungkapkan ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) KH Kholil Ridwan. Kiai Kholil menyebutkan, haji mabrur niatnya harus suci, betul-betul lillahi ta’ala menjalankan rukun Islam kelima bukan karena yang lain. Kedua, ketika melaksanakan ibadah haji masuk ke Tanah Suci dia juga suci lahir batin.Selama melaksanakan ibadah haji di Tanah Suci, mereka pun tidak melakukan rafats, fusuq, dan jidal. Rafats bukan sekadar hubungan seksual tapi termasuk bicara yang porno, matanya juga harus dijaga. Fusuk adalah perbuatan fasik yang maksiat. Misalnya membicarakan kejelekan orang lain atau mengadu domba. Dan jidal artinya berkelahi. ”Pokoknya selama di Tanah Suci, mereka bisa menahan hawa nafsu untuk tidak menimbulkan amarah orang sehingga dia harus banyak menerima sabar.”Ulama asal Bandung Dr KH Miftah Faridl seperti dalam bukunya berjudul Antar Aku ke Tanah Suci terbitan Gema Insani Press mengungkapkan haji mabrur dapat terlihat setelah pulang haji. ”Ia menjadi gemar melaksanakan ibadah-ibadah sunnah dan amal saleh lainnya serta berusaha meninggalkan perbuatan-perbuatan yang makruh dan tidak bermanfaat,” ujarnya.Haji mabrur juga aktif berkiprah dalam memperjuangkan, mendakwahkan Islam dan istiqamah serta sungguh-sungguh dalam melaksanakan amar makruf dengan cara yang makruf, melaksanakan nahi munkar tidak dengan cara yang munkar. Sifat dan sikapnya berubah menjadi terpuji.“Orang yang bergelar haji mabrur akan malu kepada Allah SWT untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang-Nya. Ia terlihat semangat dan sungguh-sungguh dalam menambah dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu Islam,” tambahnya.Ketua MUI Jawa Barat ini pun menambahkan, orang yang hajinya mabrur akan cepat melakukan tobat apabila terlanjur melakukan kesalahan dan dosa, tidak membiasakan diri proaktif dengan perbuatan dosa, tidak mempertontonkan dosa, dan tidak betah dalam setiap aktivitas berdosa. Terakhir, orang yang hajinya mabrur akan sungguh-sungguh dalam memanfaatkan segala potensi yang ada pada dirinya untuk menolong orang lain dan menegakkan ’izzul Islam wal Muslimin, kemuliaan Islam dan umatnya. Semoga Anda yang baru kembali dari Tanah Suci, menjadi bagian dari orang-orang yang bersifat demikian. Atau, selalu berusaha untuk menjadi demikian. Wallaahu A'lamu...

MENYIBAK RAHASIA HAJI


Bagi Anda calon tamu-tamu Allah SWT. Setidaknya perlu diketahui beberapa hal mengenai rahasia-rahasia dibalik syariat ibadah haji. Selain manasik lapangan, aspek lainnya perlu juga diketahui, termasuk mengetahui sekelumit tentang rahasia dan hikmah yang terkandung dalam prosesi ibadah haji. Saat kita memakai kain ihram dan mengucapkan talbiyyah adalah wujud dari tajarrud (totalitas) jiwa dari hawa nafsu dan syahwat. Menghadapkan seluruh perbuatan hanya kepada Allah, bersegera melakukan ketaatan dan perintah hanya untuk Allah, sehingga mendapatkan ridha dari-Nya dan berharap akan surga-Nya.
Adapun thawaf adalah wujud dari perputaran hati dan jiwa di tempat yang disucikan Allah, bersatu antara pencari cinta dan yang dicinta, Dzat yang telah menganugerahkan kenikmatan, sungguh sangatlah hina saat kita menyadari kenikmatan yang telah diberikan namun tidak memahami ayat-ayat-Nya.
Sa’i adalah perjalanan yang dipenuhi rahmat dari dua bukit sebagai tilas perjuangan Siti Hajar. Memohon ampunan dan keridhaan adalah pucuk dari kegiatan di Safa dan Marwa.
Wukuf di Arafah adalah usaha yang tiada henti untuk tunduk dengan hati yang penuh rasa takut, lisan yang sibuk dengan do’a, harapan yang tulus dihadapan Dzat yang Maha kasih.
Melontar jumroh merupakan simbol celaan dan penghinaan terhadap segala bentuk kejahatan dan kekerdilan jiwa, simbol nyata akan kejujuran azimah dalam menolak hawa yang merusak terhadap individu dan sosial.
Menyembelih hewan qurban – sebagai penutup dalam jenjang peningkatan menuju tempat yang bersih dan jernih – kecuali tumpahnya darah kehinaan di tangan yang keras persendiannya dalam membangun kemuliaan, dan simbol pengorbanan dan penebusan jiwa di hadapan tentara Allah yang suci dan mulia.
Dalam ibadah haji ada sarana untuk takhaliyah (pembersihan), tahaliyah (penghiasan) dan zad (pembekalan).
Jika selesai melaksanakan ibadah haji kemudian kembali ke negerinya dengan aman dan selamat, mampu menempatkan dirinya dan umatnya menuju jalan hidayah dan petunjuk, seperti yang telah disebutkan Al-Quran petunjuk kepada orang-orang yang beriman akan misi yang mulia ini, Allah berfirman: “Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji” (Al-Baqoroh: 197), ini adalah sisi pembersihan dan pensucian diri dari kotoran dan dosa, dan berpecah belah dari jama’ah.
Adapun sisi penghiasan diri berupa akhlak yang dapat membersihkan dan mensucikan hati dan jiwa, dapat dilihat dari firman Allah: “Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal. (Al-Baqoroh: 197)
Dan dengan kebersihan jiwa dan hati menjadi bekal terbaik; yaitu takwa yang muncul dari jiwa seorang muslim sehingga dapat merubah segala sesuatu dalam hidupnya, memberikan pengaruh terhadap orang yang ada disekitarnya. Allah berfirman: “Demikianlah (perintah Allah). dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, Maka Sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati. (Al-Hajj: 32)